Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Penambang Nikel Tertekan Oleh Empat Kebijakan Baru Pemerintah Di Awal Tahun 2025

Kamis, 23 Jan 2025

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap empat kebijakan baru yang ditetapkan oleh pemerintah pada awal tahun 2025. Pernyataan ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey, dalam rapat pleno bersama Badan Legislasi DPR RI mengenai Revisi Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba) pada Rabu, 22 November 2025. Meidy menjelaskan bahwa kebijakan pertama yang menjadi sorotan adalah penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12%. Ia menekankan bahwa para penambang di APNI telah beroperasi selama puluhan tahun dan memiliki pengalaman serta sumber daya finansial yang memadai, namun baru pada tahun 2025 mereka merasakan dampak negatif dari kenaikan PPN tersebut. "Di awal tahun, kami dihadapkan pada PPN 12% yang sangat mempengaruhi sektor pertambangan. Alat berat kini dianggap sebagai barang mewah, sehingga harga alat berat tersebut mengalami kenaikan yang signifikan," ungkap Meidy.

Kebijakan kedua yang menimbulkan keluhan adalah mengenai penerapan BBM biosolar B40. Meidy menyatakan bahwa pelaksanaan campuran bahan bakar nabati yang berbasis sawit ini akan mengakibatkan peningkatan biaya produksi bahan bakar. "Pada minggu kedua di bulan Januari, kami kembali terpengaruh oleh B40. Kami tidak bisa menghindar, biaya produksi kami meningkat," ungkapnya.

Kebijakan ketiga berkaitan dengan pembaruan peraturan mengenai devisa hasil ekspor (DHE) dari sumber daya alam (SDA). Masa penyimpanan DHE diperpanjang dari minimal 3 bulan menjadi 1 tahun. "Pada minggu ketiga, kami baru saja mendapatkan tambahan DHE hasil ekspor 100% selama 1 tahun. Biaya yang harus dikeluarkan semakin meningkat," ungkap Meidi. Sementara itu, kebijakan keempat berfokus pada peningkatan royalti untuk nikel yang akan ditetapkan pemerintah dari sebelumnya 10% menjadi 15%. Meidy berpendapat bahwa kebijakan ini akan mengurangi profitabilitas para penambang. "Baru-baru ini kami mendengar kabar bahwa royalti yang sebelumnya 10% akan naik menjadi 15%," jelasnya.

Meidy juga menambahkan bahwa selain kebijakan pemerintah, harga nikel di pasar global yang mengacu pada London Metal Exchange (LME) juga sedang mengalami penurunan. Hal ini berdampak pada pendapatan penambang dan menambah beban mereka. Akibat dari berbagai kebijakan tersebut, Meidy mengungkapkan bahwa beberapa perusahaan yang telah mendapatkan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) memilih untuk tidak melanjutkan aktivitas penambangan. "Beberapa tambang yang telah mendapatkan RKAB enggan untuk memproduksi, Bapak-Ibu. Mengapa? Karena biaya produksi meningkat, sementara penjualannya semakin menurun," tuturnya.


Tag:



Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.