Telegram Gencar Blokir, Ekosistem Kriminal Siber Mulai Berantakan Dan Bermigrasi

Kamis, 11 Desember 2025

    Bagikan:
Penulis: Zidan Fakhri
Gelombang pemblokiran oleh Telegram menciptakan lingkungan yang tidak stabil bagi penjahat siber, memutus rantai komunikasi dan transaksi, serta memicu awal dari gelombang migrasi besar-besaran ke platform yang lebih sulit dilacak. (Foto: Carl Court/Getty Images)

Jakarta - Dunia bawah tanah siber sedang mengalami gempa. Tekanan berupa pemblokiran massal yang semakin gencar dilakukan oleh Telegram terhadap kanal-kanal ilegal telah mulai merobek-robek ekosistem kriminal yang selama ini nyaman berlindung di platform tersebut. Laporan analisis dari Kaspersky Digital Footprint Intelligence memberikan bukti nyata bagaimana operasi moderasi yang konsisten dapat mengacaukan tatanan para pelaku kejahatan. Pemantauan ekstensif mengungkap bahwa meski aktivitas kriminal tidak serta-merta lenyap, fondasi tempat mereka berpijak kini goyah. Ketidakpastian telah memaksa para penjahat siber untuk mempertimbangkan kembali pilihan platform mereka, mengawali sebuah fase migrasi yang dapat mengubah peta ancaman dunia maya.

Inti dari kekacauan ini adalah siklus hidup kanal ilegal yang menjadi tidak menentu. Di satu sisi, kanal yang berhasil bertahan justru menunjukkan umur yang lebih panjang, mengindikasikan upaya yang lebih sofistikated dari para operatornya untuk menghindari deteksi. Namun di sisi lain, tingkat pemblokiran telah melesat naik. Sejak akhir tahun 2024, volume penghapusan bulanan menunjukkan grafik yang konsisten tinggi, bahkan menyaingi periode puncak sebelumnya. Pada tahun 2025, tren ini tidak menunjukkan tanda-tanda mereda, menciptakan lingkungan di mana setiap kanal bisa mati sewaktu-waktu.

Kondisi tersebut sangat merugikan model bisnis ilegal yang mengandalkan stabilitas. Bot-bot Telegram yang otomatis melayani transaksi harian—mulai dari penjualan data hasil infostealer, kartu bank curian, hingga pembayaran dengan kripto—tiba-tiba kehilangan "toko" mereka. Pelanggan kehilangan akses, reputasi yang dibangun dengan susah payah terkikis, dan arus pendapatan terputus. Meski kanal baru dapat dibuat dengan cepat, kepercayaan dan momentum bisnis seringkali hilang bersama dengan pemblokiran tersebut.

Fitur andalan Telegram yang justru dimanfaatkan untuk kejahatan, seperti penyimpanan file tanpa batas, kini menjadi pedang bermata dua. Kemudahan berbagi database curian berukuran besar tanpa hosting eksternal memang memicu maraknya kejahatan "retail" siber. Namun, ketergantungan pada infrastruktur yang sepenuhnya dikuasai oleh satu pihak swasta membuat seluruh konten ilegal tersebut sangat rentan terhadap pembersihan sepihak dalam skala masif. Para pelaku kejahatan pun menyadari kerapuhan ini.

Pada hakikatnya, struktur Telegram yang terpusat dan kebijakannya yang tertutup justru merupakan ancaman eksistensial bagi aktivitas kriminal jangka panjang. Para penjahat siber tidak memiliki kendali atas server, tidak dapat memastikan keamanan data mereka dari insinyur Telegram, dan mustahil memprediksi kapan gelombang pemblokiran berikutnya datang. Kesadaran akan kerentanan inilah yang mendorong perpindahan. Beberapa nama besar di ranah kriminal siber, seperti grup BFRepo dan layanan Angel Drainer, telah memimpin eksodus dengan memindahkan operasi inti mereka menjauh dari Telegram.

Vladislav Belousov, analis Kaspersky, menjelaskan pergeseran paradigma ini. Menurutnya, kenyamanan yang dahulu ditawarkan Telegram kini tertutupi oleh tingginya risiko operasional. "Blokir yang tinggi membuat mereka sulit membangun operasi jangka panjang," katanya, menegaskan bahwa migrasi bukan lagi wacana, tetapi sebuah kenyataan yang sedang berlangsung. Ini menandai babak baru dalam permainan kucing dan tikus antara penegak hukum dan penjahat siber.

Menyikapi dinamika yang berubah cepat ini, Kaspersky memberikan rekomendasi strategis. Bagi masyarakat umum, kontribusi dapat diberikan dengan aktif melaporkan konten ilegal untuk memperkuat upaya moderasi komunitas. Bagi organisasi dan profesional keamanan, langkah yang lebih proaktif diperlukan, yaitu dengan berlangganan layanan Threat Intelligence yang mencakup pemantauan menyeluruh di seluruh lapisan web. Hanya dengan pemahaman yang luas terhadap tempat para pelaku ancaman mungkin bermigrasi, pertahanan dapat disiapkan secara efektif.

Akhirnya, gelombang pemblokiran di Telegram bukanlah akhir dari kejahatan siber, tetapi sebuah transformasi. Tekanan yang berhasil diciptakan telah memaksa predator siber untuk keluar dari sarang yang nyaman dan berpindah. Tantangan baru bagi pihak keamanan adalah memprediksi dan memantau tujuan migrasi mereka berikutnya, apakah ke platform pesan lain, forum dark web yang lebih dalam, atau ke jaringan komunikasi yang sama sekali baru. Perburuan dan perlindungan terus berlanjut di medan yang terus berubah.

(Zidan Fakhri)

Baca Juga: Razia Besar Malaysia: Ribuan Rig Bitcoin Ilegal Diamankan Pakai Drone
Tag

    Bagikan:

Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.