Sejumlah pelaku industri pariwisata yang tergabung dalam Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) DPC Malang Raya mengeluhkan kebijakan efisiensi yang diterapkan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut berdampak negatif terhadap omzet para pelaku usaha pariwisata yang mengalami penurunan drastis. Ketua ASPPI Malang Raya, Hendri Wijaya, dalam acara Halal Bihalal di basecamp Kaliwatu Rafting Kota Batu pada Rabu (7/5), menyatakan bahwa kebijakan efisiensi ini mempengaruhi berbagai sektor, termasuk pariwisata. Banyak pesanan yang dibatalkan akibat kebijakan tersebut. "Semua pihak merasakan dampak dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah ini," ujarnya. Hal serupa juga diungkapkan oleh Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Himpunan Provider Outbound Indonesia (HPOI) Kota Batu, Usman Hadi, yang menyatakan bahwa industri pariwisata di Kota Batu kini terpaksa mengalami penurunan aktivitas akibat kebijakan efisiensi. Banyak instansi pemerintah yang sebelumnya memanfaatkan layanan outbound saat mengadakan kegiatan di Kota Batu kini tidak lagi melakukannya. "Banyak pemesanan yang dibatalkan, termasuk pemesanan hotel untuk acara wisuda siswa, meskipun sudah membayar uang muka," jelasnya. Selain itu, terdapat dampak lain terhadap tenaga kerja, di mana beberapa usaha pariwisata mengurangi jam kerja karyawan mereka. Dari yang awalnya 6 hari kerja, kini menjadi 4 hari kerja dengan 3 hari libur. Pengurangan ini juga berdampak pada pendapatan pekerja. "Jika kebijakan seperti ini terus berlanjut, dampaknya akan sangat merugikan. Kami berharap agar situasi ini segera kembali normal agar industri pariwisata dapat pulih kembali," harapnya. Gozali dari ASPPI Malang juga menyampaikan bahwa kampus mengalami pemotongan anggaran yang signifikan. Oleh karena itu, dia meminta anggota ASPPI untuk terus menyuarakan hal ini kepada pemerintah atau pengambil kebijakan. "Karena banyak sektor yang terdampak. Jika tidak ada yang menyuarakan, akan dianggap baik-baik saja," ujarnya. Perwakilan katering dari Kota Batu, Odi, juga meminta solusi dari pemerintah pusat, presiden, dan DPR. Dia menegaskan bahwa pemerintah harus memberikan solusi terkait kebijakan efisiensi yang telah dikeluarkan, karena hingga saat ini belum ada langkah penyelesaian. "Oleh karena itu, kami menanyakan solusi kepada negara, bagaimana ini," ujarnya. Selain sektor pariwisata, kebijakan efisiensi juga dirasakan dalam dunia pendidikan. Menurut Dewi Utari, seorang akademisi dari FIB Universitas Brawijaya (UB), dosen juga terkena dampak, salah satu contohnya adalah biaya perjalanan yang kini hanya tersisa 30 persen.