Lampung Tengah - Aksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya pada Rabu, 10 Desember 2025, menyisakan ironi yang dalam. Sehari sebelumnya, Selasa (9/12/2025), pejabat yang baru sembilan bulan menjabat ini justru menghadiri acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang digelar di Nuwo Balak, Gunungsugih. Operasi yang digelar KPK tidak hanya menjaring sang bupati, tetapi juga mengamankan sejumlah pihak lainnya, termasuk beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lampung Tengah. Sumber sementara mengindikasikan kasus ini berhubungan dengan dugaan praktik suap yang menyertai proses pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) wilayah tersebut.
Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, memberikan konfirmasi singkat namun pasti mengenai kebenaran operasi ini. "Benar," tuturnya melalui pesan singkat yang dikirim pada Rabu malam, 10 Desember 2025, menanggapi pertanyaan seputar penangkapan Ardito Wijaya. Tim penindakan KPK langsung membawa para pihak yang diamankan untuk menjalani proses pemeriksaan yang intensif di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Publik kini menunggu pengumuman resmi status hukum mereka yang dijanjikan akan disampaikan oleh lembaga antirasuah dalam waktu dekat.
Latar belakang Ardito Wijaya sebagai seorang dokter lulusan Universitas Trisakti tahun 2008 dan magister Kesehatan Masyarakat Universitas Mitra Indonesia 2024, membuat kasus ini semakin menyedihkan. Sebelum menjadi bupati, ia dikenal mengabdi sebagai dokter di Puskesmas Seputih Surabaya dan Puskesmas Rumbia, serta pernah menjabat sebagai Kepala Bidang P2PL Dinas Kesehatan Lampung Tengah. Pengalaman pelayanan publiknya yang panjang ini bertolak belakang dengan tindakan yang kini diduga dilakukan. Perjalanan karirnya dari tenaga medis ke pucuk pimpinan daerah seharusnya menjadi contoh dedikasi, bukan kehancuran.
Masuknya Ardito ke panggung politik dimulai dengan keberhasilannya memenangkan Pilkada 2020 sebagai Wakil Bupati mendampingi Musa Ahmad. Pasangan ini berhasil mengumpulkan 323.064 suara, mengalahkan pesaing-pesaingnya dengan margin yang nyaman. Namun, hubungan politik itu rupanya tidak abadi, terlihat ketika Ardito memutuskan untuk maju sendiri sebagai calon bupati pada Pilkada 2024. Dengan dukungan dari PDI Perjuangan dan berpasangan dengan I Komang Suheri, ia justru berhasil mengalahkan mantan atasannya sendiri.
Kemenangan telak pada Pilkada 2024 dengan perolehan 369.974 suara (63,71%) seharusnya menjadi mandat yang kuat bagi Ardito untuk membawa Lampung Tengah ke arah yang lebih baik. Ia dilantik dan memimpin daerah itu selama kurang dari setahun sebelum OTT KPK terjadi. Masa jabatan yang sangat singkat ini memunculkan pertanyaan tentang kapan dan bagaimana niat untuk melakukan penyimpangan itu mulai muncul. Apakah ini merupakan praktik sistemik atau sebuah kesalahan fatal di awal kepemimpinannya, masih harus dibuktikan dalam proses hukum.
Dugaan bahwa kasus ini terkait suap pengesahan RAPBD menyoroti titik rawan korupsi di daerah, yaitu proses anggaran. Pengesahan RAPBD yang melibatkan eksekutif (bupati) dan legislatif (DPRD) sering kali menjadi lahan transaksi tidak wajar bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Penangkapan beberapa anggota DPRD dalam OTT yang sama menguatkan indikasi kolusi antara kedua pihak ini. Modus seperti ini merugikan keuangan daerah dan pada akhirnya mencekik pelayanan kepada masyarakat.
Operasi KPK ini merupakan tamparan keras bagi upaya pemberantasan korupsi, sekaligus menunjukkan bahwa lembaga tersebut tetap bekerja tanpa pandang bulu. Menangkap seorang bupati yang baru saja menghadiri acara antikorupsi menunjukkan keberanian dan independensi KPK. Peristiwa ini harus menjadi pelajaran bagi semua pejabat publik di tingkat mana pun bahwa pengawasan terhadap kekuasaan terus berjalan. Tidak ada waktu atau kesempatan yang aman untuk melakukan pelanggaran.
Masyarakat Lampung Tengah kini harus menghadapi kenyataan pahit bahwa pemimpin yang mereka pilih dengan suara besar ternyata terjerat kasus korupsi. Situasi ini berpotensi menimbulkan gejolak ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah daerah dan proses demokrasi. Proses hukum yang adil dan transparan mutlak diperlukan untuk memulihkan kepercayaan tersebut. Masa depan kepemimpinan dan tata kelola Lampung Tengah pun akan sangat bergantung pada bagaimana kasus ini diselesaikan dan siapa yang akan menggantikan peran Ardito Wijaya sementara waktu.