JAKARTA - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengambil langkah tegas untuk menyelaraskan dinamika industri pertambangan dengan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan. Kebijakan terbaru berupa penerapan denda administratif bagi perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin kehutanan menjadi indikator kuat arah kebijakan tersebut. Keputusan Menteri ESDM Nomor 391 Tahun 2025 menjadi instrumen hukum yang menjembatani kepentingan ekonomi nasional dan imperatif ekologis.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menekankan bahwa sanksi denda administratif ini bersifat tambahan dan tidak menggantikan tanggung jawab utama perusahaan. Pelaku usaha tetap wajib melakukan pemulihan lingkungan dan memenuhi seluruh kewajiban finansial negara, termasuk royalti dan pajak. Pendekatan ini menunjukkan pemahaman bahwa kerusakan lingkungan tidak dapat sekadar "ditebus" dengan uang, tetapi harus direhabilitasi.
Besaran denda yang berbeda untuk setiap komoditas, dengan nikel di posisi tertinggi Rp6,5 miliar per hektare, mencerminkan pertimbangan nilai ekonomi dan potensi dampak lingkungan dari masing-masing jenis tambang. Disparitas angka ini bukan tanpa alasan, melainkan hasil dari mekanisme perhitungan khusus yang dibuat oleh Kementerian ESDM untuk memastikan keadilan dan proporsionalitas sanksi.
Baca Juga: Kebijakan Radikal Hanif: Hulu DAS Dilarang Untuk Pertanian Lahan Kering Dan Eksploitasi
Kebijakan ini merupakan hasil koordinasi antarlembaga, yang diwujudkan melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan. Kolaborasi ini penting mengingat kompleksitas masalah tumpang tindih lahan antara sektor kehutanan dan pertambangan. Keberadaan satgas khusus memastikan bahwa penegakan aturan tidak hanya berada di ranah administratif semata, tetapi juga memiliki kekuatan operasional di lapangan.
Langkah pemerintah ini dapat dilihat sebagai respons atas tekanan global dan domestik untuk menerapkan praktik pertambangan yang lebih bertanggung jawab. Sebagai negara pemilik hutan hujan tropis terbesar ketiga dan produsen mineral strategis penting, Indonesia berada di persimpangan antara memanfaatkan sumber daya dan melestarikannya. Kepmen ini menjadi salah satu upaya menjawab tantangan itu.
Di satu sisi, industri pertambangan, khususnya nikel, merupakan tulang punggung strategi industri hilirisasi nasional. Di sisi lain, deforestasi dan degradasi hutan mengancam biodiversity dan kontribusi Indonesia terhadap perubahan iklim. Kebijakan denda administratif berfungsi sebagai alat untuk menginternalisasikan biaya lingkungan ke dalam kalkulasi ekonomi kegiatan pertambangan.
Dengan diterapkannya aturan ini, diharapkan terjadi perubahan perilaku di kalangan pelaku usaha. Perusahaan didorong untuk lebih teliti dan patuh dalam mengurus seluruh perizinan, termasuk yang terkait dengan fungsi kawasan hutan, sebelum memulai operasi. Pada akhirnya, kepatuhan hukum dan lingkungan akan menciptakan iklim investasi yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Kepmen ESDM No. 391/2025 merupakan sinyal kuat bahwa era pertambangan tanpa memedulikan aturan lingkungan telah berakhir. Pemerintah menegaskan bahwa pembangunan industri harus inklusif dan mempertimbangkan daya dukung alam. Kebijakan ini diharapkan menjadi fondasi bagi tata kelola pertambangan yang lebih baik, adil, dan berwawasan lingkungan di masa depan Indonesia.